Tugas Kewajiban Belajar dan Mengajar Perspektif al-Qur'an

 


Pendahuluan
  

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada manusia melalui malaikat Jibril yang dimulai dari surah al-fātiḥah dan diakhiri dengan surah al-Nās yang menjadi pedoman hidup manusia sejak zaman ajali hingga kekinian, al-Qur’an menjadi referensi dalam berbagai lini kehidupan ini apa saja yang hendak ingin dicari semua sudah tercantum didalamnya mulai dari bangun sampai tidur lagi telah diatur dalam al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia agar tidak tersesat didalam lembah kehinaan, supaya manusia tidak tersesat memahami agama dengan al-Qur’an dan hadits pada intinya mereka  harus belajar kepada guru untuk memahami al-Qur’an itu sendiri dan berpegang teguh terhadapnya dan juga hadits Nabi Saw, sebagaimana dalam hadits Nabi Saw sebagai berikut: 

مالك؛ أنه بلغه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة نبيه                                                                                                 

“Imam Mālik menyampaikan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak kalian tersesat selama berpegang kepada keduanya:  yaitu kitab Allah dan sunnah nabi-Nya. (al-Muwatta’) 

Berpegang saja tidak cukup sampai disitu namun harus mengikatnya agar tidak lepas dan saling mengikat ada magnet yang menghubungkan yaitu dengan menggali, memahami, mempelajarinya sampai keakar-akarnya untuk menumbuhkan pribadi yang berbudi karena al-Qur’an itu sendiri mensifati beberapa yang harus diaktualisasikan oleh manusia diantaranya; sebagai petunjuk (hudā), rahmah, peringatan (al-dzikr), nasihat (mau’iẓah), al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.  Untuk menemukan maqam-maqam tersebut disinilah pentingnya ilmu belajar menerawang sesuatu yang belum tahu menjadi mengerti apa itu al-Qur’an apa isi dan kandungannya bagaimana cara membaca yang benar dan baik sesuai kaidah dan tafsirnya, setiap individu dituntut mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya termasuk orang yang terbaik diantara yang terbaik hal ini jelas dalam hadits Nabi Saw sebagai berikut: 

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عُثْمَانَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ               


“Menceritakan kepada kami Hafs bin ‘Umar menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Alqamah bin Marsad dari Sa’d bin ‘Ubaydat dari Abd al-Raḥman, dari ‘Utsmān dari Nabi Saw bersabda:” sebaik-baik kamu ialah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya (HR. Abu Daud). 

Sebaik-baik orang diantara yang lainnya mereka belajar dan mengajar al-Qur’an kepada siapa saja  nilai bonus yang sungguh luar biasa jika dihitungkan kepada angka desimal bisa saja tidak ternilai tidak ada ruginya belajar al-Qur’an dan mengajarkannya malah investasi akhirat ratingnya selalu meningkat dan didunia dimuliakan betapa bahagianya sungguh jelas terdapat dalam al-Qur’an surah al-Mujadalah[58]: 11. Sebagai berikut : 

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ 

“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Q.S. al-Mujadalah[58]: 11)

        Disebutkan dalam tafsir al-munīr bahwa Allah Swt mengangkat kedudukan dan posisi orang-orang mukmin di dunia dan akhirat dengan menambah dan meningkatkan pahala mereka, Allah Swt juga secara khusus mengangkat dan meninggikan kedudukan para ulama  dengan beberapa derajat yang tinggi dalam hal kehormatan dan kemuliannya didunua serta pahala diakhirat.  Belajar dan mengajar kemuliaan akan menyertainya pahala luar biasa disisi Allah Swt mengorbankan jiwa dan raganya untuk mewakafkan diri menjadi insān ‘ilmiyah benar-benar untuk sebuah pengabdian. Dibalik itu belajar mengajar ini adalah sebuah perintah kepada manusia untuk meningkatkan sumber daya manusia sumber daya alam mengelola, merawat bumi karena fungsi manusia sebagai khafiat fi al-ard (pemimpin dimuka bumi) tentu ilmu dengan proses belajar mengajar menjadi alatnya tanpa ada alatnya bagaimana bisa menggarap suatu proyek besar peradaban (tsaqafah) manusia kedepan.  

M. Quraish Shihab menurutnya pandangan al-Qur’an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, sebagaiman tertuang dalam al-Qur’an  surah al-‘Alaq [96]: 1-5 sebagai berikut: 

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5). 

Iqra’ berasal dari akar kata yang berarti menghimpun dari menghimpun lahirlah aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Tujuan wahyu pertama ini  bukan hanya menyuruh manusia untuk membaca satu term saja tapi selama bacaan tersebut bismi rabbik dengan menyebut nama Tuhan dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan, iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri yang tertulis maupun yang tidak tertulis.    

Perintah membaca, perintah belajar dan mengajar adalah mempunyai misi yang sangat besar dalam pembinaan karakter manusia untuk menemukan arahnya sebagai insān wa al-ihsān yang muttaqīn, tanpa belajar kebutaan hidup akan diarasi oleh manusia, tanpa mengajar oleh guru akan disesatkan sendiri, urgennya kewajiban belajar dan mengajar adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga senada dengan apa yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Dalam pandangan al-Qur’an ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan pemimpin dimuka bumi. 

Metode penelitian  

Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini ialah metode library research yaitu dengan melacak perpustakaan buku-buku yang bekaitan dengan judul kewajiban belajar mengajar perspektif al-Qur’an. Dan metode analisis data dengan data primer dan skunder, data primernya adalah al-Qur’an dan tafsir, sedangkan buku skundernya adalah buku-buku yang berkaitan dengan belajar mengajar dalam perspekif al-Qur’an. 

Hasil dan pembahasan 

1. Kewajiban Belajar 

Al-Qur’an telah memberi keterangan tentang belaja dan tuntutan belaja sebagaiman dalam al-Qur’an surah Al-Kahfi [18]: 70 sebagai berikut : 


قَالَ اَلَمْ اَقُلْ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا

Dia berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?”(Q.S. Al-Kahfi [18]: 70)

Ketika Nabi Musa a.s memperkenalkan diri “saya Musa”  Khidir meyakinkan dirinya “Musa bani Isra’il ?” benar” jawab dari Nabi Musa a,s selanjutnya Nabi Musa a.s meminta izin kepada khidir “bolehkan aku menemani dan mengikuti perjalananmu agar kamu mengajarkan kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepadamu untuk aku jadikan sebagai petunjuk dalam urusanku terutama ilmu yang bermanfaat dan amal saleh? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang penuh kelembutan dan etika, tidak ada pengharusan dan pemaksaan didalamnya demikianlah sebaiknya pertanyaan seorng murid kepada gurunya. Kemudian Khidir menjawab seperti pada ayat diatas maksudnya, seseungguhnya kamu tidak akan sanggup menemaniku dan kamu tidak akan dapat bersabar atas perbuatanku yang akan kau lihat karena aku melakukannya berdasarkan ilmu yang diajarkan oleh Allah kepadaku dan tidak diajarkan kepadamu. Kamu juga telah diajari oleh Allah ilmu yang tidak aku ketahui masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab tersendiri dari Allah dengan beragam perkara yang berbeda, oleh sebab itu kamu tidak mungkin sanggup mengikutiku, begitu sabarnya Musa as. Mengikuti jejak Khidir sampai Khidir sudah memperingatkan diawal kamu tidak mengetahui hikmah dan maslahat yang tersembunyi serta hakikat dan perbuatanku sedangkan aku telah mengetahuinya kata Nabi Khidir , hingga Nabi Musa berkata : “ in Syā Allah kamu akan meliahtku senantiasa bersbar atas segala perbuatanmu yang aku saksikan dan aku tidak akan menentangmu dalam perkara apa pun.  Sehingg Khidir pun bekata kepada nabi Musa as, dalam ayat dibawah ini: 

قَالَ فَاِنِ اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْـَٔلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتّٰٓى اُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا ࣖ

Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.”(Q.S. Al-Kahfi [18]: 70)

Dalam ayat ini sosok Nabi Musa a.s yang sangat menjaga etika seorang penuntut ilmu dengan gurunya, Nabi Khidir   kisah diatas perjalanan Nabi Musa as. Bersama pemuda yang membantunya Yusa as, untuk bertemu dengan seorang hamba Allah yang saleh yaitu Khidir, tujuan pertemuan tersebut adalam untuk mengajai Musa as, sifat tawadhu dalam ilmu, juga untuk mengajarkan kepadanya walaupun dia seorang nabi dan rasul bisa jadi ada hamba Allah yang lebih berilmu darinya, dalam kisah ini juga menceritakan perjalanan seorang ulama untuk menambah ilmu, nabi Musa as pergi menemui Khidir untuk menimba ilmu pengetahuan disertai sikap tawadhu dihadapannya, sikap tawadhu lebih baik dari sikap sombong, seperti inilah hendaknya yang diciptakan oleh seorang pelajar dalam menimba ilmu.  

Rasulullah Saw sendiri bersabda : 

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ 

“Telah mencertiakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammār berkata: “telah menceritakan kepada kami Hafs bin Sulaimān, berkata : telah menceritakan kepada kami Katsir bin Syinẓīr dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik ia berkata:  Rasulullah Saw bersabda: “ menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada ahlinya seperti orang yang mengalungkan mutiara, intan dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah  No. 224)

Kata فريضة dalam hadits diatas sama juga dengan fardhu biasa dinamakan dengan sesuatu yang diwajibkan diartikan pula dengan rukun, dan dimaksudkan juga dengan syarat. Fardhu adalah kewajiban yang dibebankan oleh Allah terhadap manusia misalnya kewajiban shalat, puasa, termasuk menuntut ilmu, fardhu adalah perintah yang mengandung suruhan yang harus dikerjakan mayoritas mazhab hukum Islam istilah ini identik dengan wajib.   Maka menuntu ilmu atau belajar itu hukumnya adalah wajib, urgennya ilmu bagi laki-laki dan perempuan harus mencarinya, dengan belajar manusia dapat mengerti akan dirinya, lingkungannya, dan juga Tuhan-nya , dengan belajar pula manusia mampu menciptakan kreasi unik dan spektakuler yang berupa teknologi. Belajar dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting sehingga hampir setiap saat manusia tak pernah lepas dari aktivitas belajar. Keunggulan suatu umat manusia atau bangsa juga akan sangat bergantung kepada berapa banya mereka menggunakan rasio.  

Lantas bagaimanakah konsep belajar perspefkif al-Qur’an dalam Islam yaitu :

a. Al-Qur’an tentang posisi manusia 

Al-Qur’an adalah kalam suci Tuhan yang berfungsi sebagai tanda, petunjuk, rahmat, dan shafaat bagi manusia kelak di yaum al-kiyāmah berdasarkan penegasan al-Qur’an surah al-Isra’[17]:29. Sebagai berikut : 

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلٰى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَّحْسُوْرًا

Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S. al-Isra’ [17]:29) 

Syafi’i Ma’arif seperti dikutip Ismail R. Faruqi menjelaskan bahwa manusia adalah karya Tuhan yang terbesar dan terindah dengan struktural mental yang spekatakuler oleh sebab itu tidak heran pula kalau ada yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta kedua setelah Tuhan. Ini bisa kita saksikan betapa manusia dianugerahi rasio (‘aql)  oleh Tuhan itu bisa menciptakan kreasi yang canggih berupa sains dan teknologi itu, lihatlah almarhum Bj. Habibie mencipatakan pesawat Indonesia betapa luar biasanya tingginya akal yang diberikan Tuhan kepadanya, manusia itu diberikan akal, pemahaman oleh Allah sejak mereka lahir, sementara malaikat diperintah sujud kepadanya karena tak mampu melakukan kompetisi intelektual dengan makhluk manusia yang diciptakan dengan tanah. 

Nurcholish Madjid manusia itu menurut Islam merupakan makhluk tertinggi (aḥsanu taqwīm) puncak penciptaan Tuhan, karena keutamaan manusia itu maka ia memperoleh status mulia, yaitu sebagai “khalifah Tuhan di bumi”. Status itulah yang mula pertama diterangkan Tuhan tentang manusia, khalifah berarti pengganti dibelakang (successor), jadi manusia adalah pengganti Tuhan di bumi, artinya urusan di bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Tuhan memberikan suatu alat yang bakal memungkinkan manusia memahami dan mencari pemecahan atas masalah-masalahnya di dunia ini, yaitu akal pikiran atau intelegensi. Sehingga sempat Malaikat berargumen kepada Allah tentang penciptaan manusia mereka nanti bakal banyak merusak bumi, bunuh membunuh, sendangkan para malaikat lebih berhak menjadi khalifah karena mereka selalu berbakti kepada Tuhan dan berbuat baik. Tetapi Tuhan mengatakan bahwa Dia mengetahui kelebihan manusia yang tidak dipunyai para malaikat. Kelebihan itu ialah rasionya atau kecerdasannya, sehingga manusia sanggup menerima pengajaran atau pengertian, dan mengenali dunia sekelilingnya akhirnya para malaikat mengakui kelebihan manusia (Adam) dan mereka tunduk kepadanya kecuali iblis. 

Dibalik keunggulan manusia tersebut suatu saat dia juga bisa bahkan lebih hina dari binatang jika ia berbuat destruktif melepaskan imannya, oleh sebab itu maka ia dituntut agar dengan sadar bersedia memikul tanggung jawab moral  bagi tegaknya suatu tatanan sosial politik yang adil dan beradab. Dalam Islam strategi pengembangan keilmuan manusia harus berlandaskan pada perbaikan revitalisasi dan keberlangsungan hidup manusia dengan tetap memegang amanah besar dari Allah Swt. Ilmu harus selalu berada dalam kontrol iman, ilmu dan iman menjadi bagian integral dalam diri seseorang, sehingga dengan demikian yang terjadi adalah ilmu amaliah yang berada dalam jiawa imaiah. 

b. Dasar belajar dalam Islam 

Dasar belajar ini yaitu al-Qur’an dan sunnah Rasul sebagai dasar dalam berlajar dua sumber tersebut merupakan sumber bagi landasan yang berpijak yang amat fundamental, tentang dasar yang dua dasar ini diatas sudah dituliskan hadits yang sangat lumrah yaitu siapa berpegang kepada dua al-Qur’an dan sunnah Nabi dia tidak akan tersesat (ḍalāl) dan akan mendapatkan keselamatan. Kemudian diperkuat dalam al-Qur’an surah al-Ahzab [33]:71, sebagai berikut : 

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung. (Q.S. al-Ahzab [33]:71)

Ayat tersebut sangat konkret bahwa apabila manusia menata seluruh aktivitas kehidupannya dengan berpegang teguah kepada prinsip al-Qur’an dan sunnah maka jaminan Allah adalah jalan yang lurus dan tidak akan kesasar, tetapi sebaliknya jika manusia tidak menata seluruh kehidupannya dengan petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasul maka kesempitan akan meliputi dirinya apalagi berpaling. Sebagaiman terterda dalam al-Qur’an surah Thaha [20]:124 sebagai berikut: 

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى

Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”(Q.S. Thaha [20]:124)

Ayat diatas menjadi inspirasi bagi kita dalam kehidupan jika kita ingin sukses dan jauh dari kegelisahan dan selalu berdampingan dengan sa’adah (kebahagiaan), pada hakikatnya inilah rata-rata yang ingin dicapai oleh kemajemukan masyarakat. Pada ayat diatas pada kalimat ma’isyata-andankā (penghidupan yang sempit), itu ada pada rasa seperti risau, dulu sebelum dapat kerja risau, setelah dapat kerja pun risau, dulu sebelum wisuda risau, setelah wisuda risau, memang hidup ini tidak terlepas dari risau, perasaan takut, penyebab orang berpaling dari Allah. Betapa banyak diantara kita hari ini yang mengeluh terutama pada term rezeki, harta, tahta, sehingga banyak mengambil jalan salah padahal ada jalan benar (sirāt al-mustaqīm), padahal inti permasalahannya adalah karena a’raḍ ‘an ẓikrī (berpaling dari peringatan-Ku), kata Allah. Tidak sadar kita lupa kepada Allah bahwa Allah yeng memberikan segalanya kepada kita, maka jangan heran kalau hidup kita sempit, susah, risau, galau, itu penyebanya adalah karena berpaling dari Allah. 

2. Mengajar  

Dalam al-Qur’an terdapat pada surah al-Nahl [16]: 78 sebagai berikut : 

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (Q. S. al-Nahl [16]: 78) 

Maksud ayat diatas adalah Allah Swt mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa manusia diciptakan fase awal dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa kemudian Allah Swt membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan Allah Swt pun menganugerahinya akal pikiran yang bisa memahami berbagai hal membedakan antara yang baik dan yang buruk, mampu memilih yang bermanfaat dan yang tidak. Allah Swt menyediakan untuknya kunci-kunci pengetahuan berupa pendengaran yang dapat mendengar dan memahami suara juga penglihatan yang bisa melihat berbagai hal serta hati yang bisa memahami berbagai hal. 

Konsep mengajar dalam Islam terbagi menjadi tiga diantaranya adalah sebagai berikut : 

a. Tarbiyah 

Istilah tarbiyah berasal dari kata robba  yang serumpun dengan akar kata Rabb (Tuhan) ia merujuk kepada Allah selaku murabby (pendidik) sekalian alam, kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik), dan juga terdapat dalam al-Qur’an surah Ali Imrān [3]: 79, sebagai berikut : 

مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ

“Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (Q.S. Ali Imrān [3]: 79)

 kata رباني dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada kata رب yang mendidik manusia dengan ilmu dan pengajaran pada masa kecil. Menurut Ibn ‘Abbas, kata رباني berasal dari kata ربى yang mendapatkan imbuhan alif dan nun yang menunjukkan makna mubalaghah, sebagian ulama berpendapat bahwa kata رباني mempunyai arti tokoh ilmuan (ارباب العلم) yang mendidik dan memperbaiki kondisi sosialnya dan ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut bermakna orang yang ahli dan mengamalkan agama sesuai yang ia ketahui, maka dengan demikian kata tersebut identik dengan al-‘ālim al-hakīm yang mempunyai arti orang yang sempurna iman dan taqwanya.  

Kalau Rabbani tadi diartikan sebagai pendidik maka dari segi bahasa pendidika adalah orang yang mendidik, pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidik dalam bahasa Inggris disebut teacher dalam bahasa Arab disebut ustadz, mu’allim, mudarris, dan mu’adib. Dalam literatur lainnya kita mengenal guru, dosen, pengajar, lecturer, trainer, dan lain sebagainya. Kata pendidik secara fungsional menunkkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman, bisa siapa saja dan dimana saja, secara luas dalam keluarga adalah orang tua, guru jika itu disekolah, dikampus disebut dosen, dipesantren disebut murabbi atau kyai dan lain sebagainya.  

b. Ta’dib 

Kata ta’dib berasal dari kata ادب yang berarti perilaku manusia dan sikap sopan, kata ini dapat juga berarti do’a hal ini karena do’a dapat membimbing manusia kepada sifat yang terpuji dan melarang sifat yang tidak terpuji.  Makna adab menurut kamus besar bahasa Indonesia antara lain adalah kesopanan, kebaikan, dan kehalusan budi, kata ini terambil dari bahasa Arab yang maknanya antara lain adalah pengetahuan dan pendidikan sifat-sifat terpuji dan indah ketepatan dan kelakuan yang baik.  

Konsep ta’dib diambil dari makna addaba dan direvasinya yang berarti mendidik bila maknanya dikaitkan satu sama lain akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integrative, berdasarkan dengan hal itu seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadin tersebut disebut muaddib, dalam konsep ta’dib cara mendidik perlu dengan menggunakan cara-cara yang benar sesuai akidah, menarik, dan indah, konsep ta’dib menitikberatkan pada perubahan tingkah laku anak didik, yang dikenall Islam dengan akhlak. 

c. Ta’lim 

Konsep ta’lim dalam al-Qur’an menggunakan bentuk fi’il dan isim, konsep ta’lim secara etimologi yaitu semacam transfer ilmu pengetahuan, dalam kaitan ini ta’lim  sering dipahami sebagai proses bimbingan yang mengedepankan aspek peningkatan intelektualitas anak didik. Konsep ta’lim yang menekankan kepada transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi bagaimana pun harus dikaitkan dengan nilai-nilai ilahiah, maka tidak heran bila dalam konsep ta’lim pengetahuan tidak bebas nilai ini karena ia harus selalu terikat dengan nilai-nilai ilahiah yang bermanfaat bagi anak didik secara keseluruhan, menurut  Abdul Fattah Jalal konsep  ta’lim merupakan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran, sehingga siap menerima hikmah, dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya. 

Kata ta’līm yang berarti pengajaran atau pemberitahuan adalah penggerakkan diri untuk menggambarkan makna-makna sedangkah ta’allum yaitu belajar mengetahui adalah perhatian diri untuk menggambarkan makna-makna tersebut.  Dalam al-Qur’an surah al-Rahmān [55]:1-2, senagai berikut: 

اَلرَّحْمٰنُۙ عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ

(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur'an. (Q.S. al-Rahmān [55]:1-2,)

Sesungguhnya Allah Swt Yang Mahaluas rahmat-Nya kepada makhluk-Nya di dunia dan akhirat telah menurunkan al-Qur’an kepada hamba-Nya Muhammad Saw untuk mengajari umat beliau dan menjadikannya hujjah atas seluruh manusia semuanya, memudahkan bagi siapa yang Dia rahmati untuk menghafal dan memahaminya.  


Kesimpulan

Setelah mengulas diatas dapat disimpulkan bahwa tugas kewajiban belajar mengajar perspektif al-Qur’an adalah perintah agama dan wajib bagi kaum muslimin dan muslimat berdasarkan dalil-dali dari al-Qur’an dan hadits, mengikuti sumber dasarnya yaitu al-Qur’an dan hadits prinsip belajar dalam al-Qur’an harus mengembalikan kesumbernya harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan mengajar dalam perspektif al-Qur’an adalah ada tiga term yang harus dijadikan rujukan seorang tenaga pendidik yaitu tarbiyah,  Istilah tarbiyah berasal dari kata robba  yang serumpun dengan akar kata Rabb (Tuhan) ia merujuk kepada Allah selaku murabby (pendidik) sekalian alam, kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik). Kemudian ta’dib Konsep ta’dib diambil dari makna addaba dan direvasinya yang berarti mendidik bila maknanya dikaitkan satu sama lain akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integrative, berdasarkan dengan hal itu seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadin tersebut disebut muaddib, dalam konsep ta’dib cara mendidik perlu dengan menggunakan cara-cara yang benar sesuai akidah, menarik, dan indah, konsep ta’dib menitikberatkan pada perubahan tingkah laku anak didik, yang dikenall Islam dengan akhlak. 

Dan ta’lim Konsep ta’lim dalam al-Qur’an menggunakan bentuk fi’il dan isim, konsep ta’lim secara etimologi yaitu semacam transfer ilmu pengetahuan, dalam kaitan ini ta’lim  sering dipahami sebagai proses bimbingan yang mengedepankan aspek peningkatan intelektualitas anak didik. Konsep ta’lim yang menekankan kepada transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi bagaimana pun harus dikaitkan dengan nilai-nilai ilahiah. 


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi Mengungkap pesan al-Qur’an tentang pendidikan (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2007),

Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’an Jilid 2, Alih Bahasa oleh Ahmad Zaini Dahlan (Depok : Khazanah Fawa’id, 2017),

Arif Hidayat Efendi, Al-Islam Studi Al-Qur’an Kajian Tafsir Tarbawi  (Yogyakarta: Deepublish, 2016)

Abi Daud, Sunan Abū Daud   ( Beirut: al-Maktabat al-‘Asriyah, 275

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah  (Mesir : Dār Ihyā al-Kutub al-‘Arabiyah, tt),

Ibn Manẓūr, Lisān Arab,  ( Mesir : Dār al-Ma’arif, 1119)

Mālik bin Anas, al-Muwatta’ Juz 5 (Emirat: Muassasah Zaid bin Sultān, 2004),

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an   (Bandung : Mizan,  1996),

Nurcholish Madjid, karya lengkap Nurcholish Madjid, keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan (Jakarta: NCMS, 2019),

Suteja,  Tafsir Tarbawi  (Cirebon: Nurjati Press, 2012),

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Pusat Bahasa, 2008)

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,  Kamus ilmu ushul fikih  (Jakarta : Amzah,  2019),

Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munīr Jilid 14 alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011)

______________, Tafsir al-Munīr Jilid 8 alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011)

______________, Tafsir al-Munīr Jilid 7 alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011)

______________, Tafsir al-Munīr Jilid 14 alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011)


Posting Komentar

0 Komentar