Pertalian ini kita ibaratkan dengan pertalian kehidupan dimasayarakat kita sekarang, ia juga bisa baik-baik saja ia juga bisa kadang bermasalah seperti layaknya sebuah tali yang ditarik kadang ia lurus kadang tidak, sudah tidak menjadi barang baru ketika terjadi konflik pertikaian di tengah masayakat yang heterogen layakanya tidak dinamakan sebuah masyarakat kalau ia tidak menyimpan rahasia kelam yang begitu murah diungkapkan, tetapi itu adalah menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mengambil dan memetik hikmah dibalik semua, itu karena segala yang terjadi baik atau buruk ditengah kehidupan masayakat kita sudah menjadi ketetapan Allah Swt.
Menyikapi kehidupan masyakat harus direspon dengan hati kita karena kita sudah lama berinteraksi dan sosial didalamnya seperti dalam ungkapan Aristoteles manusia merupakan makhluk sosial yang tak dapat hidup sendiri yang pasti akan memerlukan tenaga dan pertolongan dari orang lain (horizontal), hidup kita pasti ada campur tangan orang lain.
Ibn Khaldun sendiri dalam muqaddimah, bahwa manusia itu memerlukan masyarakat artinya bahwa manusia itu memerlukan kerjasama antara sesamanya untuk dapat hidup baik untuk memperoleh makanan maupun mempertahankan diri. Yang disandingkan antara negara dan masyarakat keduanya tidak dapat dipisahkan. Jelasnya masyarakat tak dapat kita hindari kecuali kita pergi ber’uzlah mengasingkan diri kedaerah yang sangat jauh dari interaksi manusia.
Kalau hidup itu memang berwarna warni dari sketsa kehidupan mengapa kita mengambil warna satu bisa saja kita membeku dibuatnya memang itulah ragam yang kita harus pandai masuk kedalamnya, harus pandai-pandai memabawa bahtera rumah tangga ditengah masyarakat, kelak kita punya hajatan yang membantu kita adalah masyarakat, artinya harus ada timbal balik mampukah kita sebaliknya memberikan empati kepada orang lain.
Tali itu mau tidak mau harus kita luruskan dan sambung kepada tali berikutnya karena begitulah porsinya tidak bisa kita jalan sendiri tanpa ada yang menunjukkan jalan, supaya jalan kita terang dan lurus harus banyak bersolisasi dan menabur sikap solidaritas, bangunlah sifat tersebut sebaik-baiknya maka hasilnya pun pasti baik-baik dan kembali kepada kita juga ujung dari pertalian tersebut, tidak ada ruginya.
Keberuntungan akan membersamai kita, tanggalkan baju egoisme dan ego sektoral merupakan benalu bagi seorang yang tinggal bermasyaraka, lama kelamaan karakter kita akan terbunuh dengan sendirinya, lupakan salah orang lain kepada kita dengan membuka pintu maaf selebar-lebarnya, seperti kita membuka pintu setiap pagi dirumah dengan perasaan hati yang segar dan senang menyambut semangat pagi.
Ingatlah anak cucu kita dibelakang hari pastikan mereka mendapat kesan nama yang baik dari kita ditengah masyarakat, karena itu menjadi amal saleh dan amal social tentunya, jalin terus hubungan baik dengan siapa pun terutama dengan orang yang mulai renggang dengan kita itu saja kita dahulukan sudah pasti kepada yang lain kita dalam legowo saja karena kita lebih mendahulukan memperbaiki yang rusak baru kita memperindah yang udah bagus.
Kita merasa rancu kalau satu hari saja tidak bersapaan dengan tetangga seperti ada yang janggal didalam hati kita, apakah kita mau mempertahankan hal tersebut, sampai ujung usia dengan bangganya kita menceritakan kepada orang lain saya tidak mau bertegeruan dengan si A maupun si B, dengan tanpa sadar kita telah terperangkap oleh godaan setan dan nafsu jiwa kita.
Rangkullah kembali yang dulu retak seperti meluruskan benang yang kusut, rawat dan pertahankan kepercayaan masyarakat yang selama ini, jangan kubur dengan sikap arogansi sehingga nama kita tercoreng di masayarakat madani, tertawa di masayarakat sebelah, karena beranggapan berhasil membangun gedung rumah perpecahan, binalah persatuan dan kesatuan sebagaimana ajaran agama juga telah memberikan pesan yang sangat mulia dari Allah Swt, sebagaimana dalam al-Qur’an al Hujurat[49]:10. Sebagai berikut:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (Q.S. al-Hujurat [49]:10)
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin semuanya bersaudara seperti hubungan persaudaraan antara nasab, karena sama-sama menganut unsur keimanan yang sama dan kekal dalam surga.
Bahkan didalam tafsir al-Munir dijelaskan wajib mendamaikan dua orang bersaudara yang bersengketa, karena Allah menuturkan bahwa orang mukmin adalah saudara seagama, mereka disatupan dalam prinsip iman, al-Qurthubi juga menjelaskan Tali ikatan persaudaraan seagama lebih kukuh daripada ikatan persaudaraan nasab. Sebab, ikatan persaudaraan nasab terputus karena berbeda agama, sementara persaudaraan seagama tidak akan terputus karena berbeda nasab.
Maka kita kuatkan persaudaraan seagama utamanya, terkadang sesama muslim saja kita sering tidak akur sehingga berpotensi perpecahan hanya gara-gara permasaalahn kete’ (Bahasa Minang), membuat orang lain tertawa melihat kita, bahkan berdosa melakukan tidak saling tergur sapa diantara sesama muslim sebagaiman dalam hadist Nabi Saw sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ: فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
“Menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, mengabarkan kami Malik dari Ibn Syihāb dari ‘Athā bin Yazīd al-Laitsy, dari Abī Ayyūb al-Anshāry : bahwa Rasulullah bekata: “tidak halal bagi seorang laki-laki meninggalkan (mendiamkan) dengan saudaranya lebih dari tiga malam, Keduanya bertemu lalu yang satu berpaling dan yang satu berpaling., sebabik-baik diantara keduanya ialah memulai mengucapkan salam. (HR. Bukhari No. 6077)
Dalam hadits tersebut secara zahir pada tiga hari termasuk kelembutan, karena anak keturunan Adam secara tabiat memilik emosi, akhlak buruk, umumnya ia akan hilang atau berkurang dalam masa tiga hari, makanya hanya dibatas Nabi sampai tiga hari saja dalam hadits tersebut, ukuran tiga hari Ibn Hajar menjelaskan jika dimulai sesudah zuhur di hari Sabtu, maka akhirnya adalah saat zuhur hari Selasa.
Setelah lewat dari tiga hari tersebut tentu tidak halal lagi artinya kita telah melakukan suatu perbuatan yang bernilai dosa. Bahkan disebutkan dalam hadits Nabi yang lain dari Abu Hurairah dalam kitab Fath al-Bārī sebagai berikut :
Apabila telah berlalu tiga hari maka hendaklah ia menemuinya dan memberi salam kepadanya, apabila yang satunya membalas maka keduanya bersekutu dalam pahala, tetapi bila dia tidak menjawab maka dia menanggung dosa, sedangkan yang memberi salam keluar dari hal itu.
Artinya selama keduanya mengulurkan tangan salah satunya mereka telah mendapatkan pahala, sebaliknya jika masih mempertahankan ego maka dosa tetap ditanggungnya, namun beruntung yang mau memberi salam ia akan terbebas dari dosa tersebut, oleh karena itu tetap kita meminta maaf, memberi salam kepada orang sekalipun ia tidak mau menerima salam dari kita, begitulah indahnya orang yang mau memberi maaf, memberi salam dan meminta maaf kepada orang lain, karena dengan begitu terciptalah kasih saying diantara masyarakat, sehingga pertalin masyarakat heterogen tetap subur dan dilestarikan.
Wallahu a’lam.
*Mara Ongku Hsb, MH (Founder Kemasyarakatan )
1 Komentar
SIAP PAK
BalasHapus