tingkatan Riya menurut Imam al-Ghazali

 




اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى أَمَرَنَا بِبِرِّ الْاَبَاءِ - اَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَأَشْكُرُهُ عَلَى تَوَالِى النَّعْمَاءِ - وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ خَالِقُ الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ - شَهَادَةً تَكُوْنُ لَنَا ذُخْرًا لِيَوْمِ الجَزَاءِ - وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَدًا عَبْدَهُ وَرَسُوْلُهُ اَتْقَى الْأَتْقِيَاءِ - اَللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً تَعْصِمُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الاَفَاتِ وَأَنْوَاعِ الْبَلَاءِ - وَعَلَى اَلِهِ الْكُرَمَاءِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى الْيَوْمِ اللِّقَاءِ  أَمَّا بَعْدُ - فَيَا مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ اِتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَبِرُّوْا اَبَاءَكُمْ تَبِرَّكُمْ اَبْنَاءَكُ


ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Tiada kata yang indah, untaian yang indah, sekalipun syair tingkat tinggi selain pujian kepada Allah Swt yang memberikan rahmat, taufik, hidayah, inayah-Nya kepada semua makhluk-Nya terprimer manusia sebagai khalifat fi al-Ard  dengan amanah tersebut manusia dapat menempatnya sesuai pada tempatnya sebagai insān pengabdi. 

Shalawat salam kepada Nabi Muhammad Saw sang petunjuk ditengah kegelapan bingung, tidak tahu arah melangkah disitu ada tunjuka ajar dari Rasulullah Saw agar umatnya tidak sesat, dan berada dijalan yang benar yang mengikuti arah dan jalan yang sudah diaplikasikan oleh Baginda Nabi Saw. 

Pesan taqwa kepada kita semua terkhusus bagi khatib umuman kepada all jamaah jum’at yang hadir pada hari ini, semoga dalam lindungan Allah Swt, kalau sudah taqwa tata kehidupan akan bisa kita ikuti dan menjaga keseimbangan perputaran zonasi style kehidupan ini. 

Dalam kesempatan ini kita akan melihat tingkatan-tingkatan riya  dalam kitab Ihya Ulumiddin karya Imām al-Ghazali :  Riya ini merupakan penyakit hati yang dapat merusak amal yang sudah kita lakukan bertahun-tahun bahkan berpuluhan tahuan tiba-tiba datang virus melebihi ganasnya virus Covid-19 menghapus riwayat amal yang sudah dilakoni setiap individu, jika sudah terjadi kita hanya tinggal diam dan kembali memperbaiki hati kita, ada dua kata yang berkaitan dengan hati kita dalam al-Qur’an yaitu pertama, Ṣadr secara linguistic kata ṣadr merupakan bentuk maṣdar dari kata ṣa-da-ra, bentuk pluralnya ṣudūr, yang berarti sesuatu yang berbeda diantara leher dan perut, ia juga berarti sesuatu yang mendahului sesuatu tersebut, seperti siang mendahului malam dan sampul buku mendahului isi buku, dalam kamus al-Waṣiṭ disebut ṣadr al-amri, yang berarti sumber dari segala urusan, secara fungsional ṣadr berfungsi sebagai runang dimana hati dan nafsu bertemu, yang juga merupakan tempat akal. (Ryandi 2014:114) ibarat sebuah Raja ṣadr merupakan tempat bermusyawarahnya raja dan para pejabatnya. 

Kedua, al-Qalb merupakan bentuk singular dari al-Qulūb, dimabil dari kata qa-la-ba, dikatakan  qalb,  karena perubahan yang terjadi padanya Ibn Manzūr mengatakan: تحويل الشئ عن و جهه  ( perubahan pada sesuatu),(Ibn 1119:3717),  dalam al-Qur’an kata al-qalb terdapat sekitar 130 kali menurut Hākim qalb  merupakan tingkatan kedua setelah ṣadr  yang berada didalamnya(Ryandi 2014:116) ia ibarat hitamnya mata atau seperti kota Makkah yang berada didalam Haram, atau seperti sumbu yang berada dalam lampu, atau seperti isi buah badan setelah kulit yang menutupinya. 

Skala kedalaman yang sangat tajam didalam setiap tubuh manusia yang dapat mengarahkan, bagai sebuah setir mobil yang diarahkan, nah ketika setir ini membawa jalan yang lurus penumpang sampai pada tujuan tentu bermanaaf bagi penumpang mereka merasakan kepuasan karena telah sampainya maqsud mereka, begitu juga hati kalau dibawa lurus badan akan tenang bersama hati ring muka berseri, tapi bila setir tadi sudah tidak bisa mengendalikan perjalanannya bisa saja akan mengalami kemarabahayaan, KH Anwar Zuhid menyebut Riya itu ibarot racun ular berbisa yang bukannya membawa kesehatan malah akan meracuni dan menghancurkan seluruh amal bisa jadi riya akan menjadi syirk al-Asgār (Anwar Zuhdi 2019), ia mengajak seluruh umat Islam untuk benar-benar menata hati dengan ikhlas dalam melaksanakan amal dan rangkaian ibadah selama hidup didunia. 

 Kalau tidak seperti itu bisa tabrakan antara yang hak dan batil,  agar jalan hati lurus harus pandai menyikapi sikap hati dia juga dihiasi dengan berbagai penyakit diantaranya ialah riya, yaitu ingin dipuji dihadapan manusia diatas agama, mengharapkan dikatakan orang baik padahal tanpa sadar rupanya racun menghapus amal kita, karena dia sangat halus sekali yang sangat sulit mendeteksinya Tokoh Sufi ulama besar Fudhail Ibn Iyadh mengatakan riya itu halusnya seperti semut hitam dibawah batu besar hitam ditengah malam, halus sekali persembunyiannya dengan itulah kita manusia sering tidak sadar dan tak sengaja kita sudah melakukan suatu hal yang salah dalam ibadah, untuk mengetahui tingkatannya   tingakatannya menurut Imam Ghazali pertama, lebih tebal tingkatannya, bahwa tidaklah maksudnya itu pahala, seperti orang yang mengerjakan shalat dihadapan manusia, dan kalau dia sendirian niscaya ia tidak shalat, akan tetapi kadang-kadang ia shalat tanpa suci (thaharaḥ) bersama manusia, maksudnya hanya ria semata-mata yang seperti dikutuk oleh Allah Swt, begitu juga orang yang mengeluarkan sedekah karena takut dari celaan manusia dan ia tidak bermaksud pahala, niscaya kalau dia sedang sendirian sedekah tersebut tidak diberikannya, inilah yang disebut Imam al-Ghazali tingkat tertinggi dari ria.(Ghazali 1992) 

Kedua, bahwa ia mempunyak maksud pahala juga, akan tetapi suatu maksud yang lemah  dimana kalau ia berada ditempat yang sunyi sendirian niscaya tidak akan memperbuatnya dan maksud tersebut tidak akan membawanya kepada perbuatan amal tersebut, dan jikalau bukan karena pahala niscaya maksud ria akan membawanya kepada perbuatan tersebut, dan ini dekat dengan yang sebelumnya.

Ketiga, bahwa ia mempunyai maksud pahala dan maksud ria yang bersamaan, dimana jikalau masing-masing dari yang dua tadi terlepas dari yang lain, niscaya tidak akan menggerakknya untuk berbuat, maka manakala keduanya berkumpul niscaya timbullah kegemarannya atau masing-masing dari yang dua tersebut jikalau sendirian niscaya berdiri sendirilah membawanya kepada berbuat riya. Maka ini sesungguhnya merusakkan, seperti apa yang membaikkan. Keempat, bahwa adanya dilihat oleh manusia itu meneguhkan dan menguatkan kerajinannya, dan jikalau tidak sesungguhnya ia tidak akan meninggalkan ibadah jikalau maksud ria saja ia tidak tampil kepada perbuatan tersebut, beribadah karena dipandang oleh manusia. Demikianlah sebagian dari tingakatan riya yang merusak nilai amal kita menurut imam al-Ghazali semoga menjadi renungan bagi kita semua untuk yang pribadi yang lebih baik lagi.  Amin. 



DAFTAR PUSTAKA 

Anwar Zuhdi. 2019. “Hancurkan Nilai Ibadah, Riya seperti Racun Ular Berbisa”. Opgehaal 12 November 2020 (https://www.nu.or.id/post/read/114103/hancurkan-nilai-ibadah--riya-seperti-racun-ular-berbisa).

Ghazali, Imam. 1992. Ihya’ Ulumiddin. 3rd ed. onder redaksie van Y. Ismail. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD.

Ibn, Manzur. 1119. Lisan Arab. al-Qahirah: Dar al-Ma’arif.

Ryandi, Ryandi. 2014. “Konsep Hati Menurut al-Hakim al-Tirmidzi”. KALIMAH 12(1):109. doi: 10.21111/klm.v12i1.221.


Posting Komentar

0 Komentar