Merawat Perbuatan Baik didalam Individu

 








Dikala satu saat, sering keluar spontan penilaian kita pada seseorang dengan menjustifikasi bahkan sampai memvonis seseorang, secara tidak langsung atau tidak sadar atau tidak sengaja kita melihat konkretnya dengan mata telanjang, tapi menutupi mata kita perbuatan baik seseorang banyak yang masih belum kita lihat secara eksplisit. 


Dengan mudahnya mengambil kesimpulan dan keputusan menafikan pertimbangan memberikan nilai pada seseorang yang belum dilihat keabsahannya, adakah rasa malu pada diri kita bahwa terkadang sang penilai sendiri tidak melihat dan menilai dirinya sendiri, boleh jadi tim penilai hanya mampu menilai seseorang lalu lupa menilai diri sendiri apakah sudah pantas menjadi manusia yang adil dan bermartabat


Biarkanlah jalan terbentang setiap saat jangan suka memfortal jalan lewat orang lain, orang umum atau memblokade jalan yang biasa dilewati orang, kita tidak tahu kemana seseorang pergi berjalan dan menuju apakah dia belok kiri jalan terus, apakah ia berhenti pada saat lampu merah menyala, setiap insan mempunyai jalan hidup masing-masing yang mempunyai banyak simpang banyak gang yang tidak bisa kita ukur limitasinya, yang bisa kita ukur dan prediksi adalah diri sendiri (individual) sejauh mana langkah dan tujuan yang sudah kita capai saat ini apakah sudah maksimal atau masih minimal, namun perlu kita pegang prinsip ushul fiqh; Mā lā yudraku kulluḧ lā yudraku kulluḧ (apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya, elemen yang sudah dicapai tidak ditinggalkan).


Artinya walalupun tidak bisa mencapai seluruhnya perbuatan kita belum maksimal  betul tetapi perbuatan baik yang sudah dilakukan jangan ditinggalkan bahkan, bahkan harus dipertahankan atau bahasa agama yang kerap dikenal dengan istiqāmaḧ, apa yang sudah diperbuat tentu perbuatan baik itulah yang dipertahankan bukan malah ditinggalkan karena buntu dipesimpangan jalan. Kalau kita tautkan dengan konsep dasar Negara Pancasila seperti dalam penelitian Ali Haidar (1994), mengenai peneirimaan Pancasila oleh NU atas prinsip diatas tadi penerimaan Pancasila dan UUD 1945 merupakan antisipasi NU untuk merebut ‘sebagian’ yang telah dicapai, sebab untuk memperoleh ‘semua’ sebagai dasar Negara tidak atau belum memungkinkan dan barangkali tetap akan mengalami kesulitan yang tidak kecil, dan malah justru kalau dipaksakan bisa jadi boomerang bagi NU sendiri dan umat Islam lainnya.


Menurut Ali Haidar penerimaan Pancasila oleh NU adalah menerima yang sudah dicapai, namun tidak berhenti sampai disitu prinsip yang lain, jika suatu kewajiban tidak bisa dicapai dengan sempurna kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat itu pun wajib (mā lā yatim al-wājib illā biḧi faḧuwa al-wājib), membangun tertib kehidupan social adalah kewajiban agar dengan demikian nilai-nilai Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia secara nyata, membangu tertib sosial itu sendiri berarti membangun Negara juga merupakan suatu kewajiban, untuk membangun suatu Negara bangsa diperlukan syarat-syarat hirarki tertentu ideology dan UUD karena itulah adanya dasar  Negara dan UUD wajib hukumnya, adanya UUD dan wajib hukumnya jika tidak dapat dirumuskan suatu dasar Negara dan UUD yang memenuhi kaidah yang sempurna tidak berarti kewajiban itu gugur, apa yang telah dicapai meski tidak sempurna, itu pun tetap wajib dijalankan disertai dengan kewajiban untuk terus menerus menyempurnakannya.


Sepengal tadi kalau dicermati dari konsep berbangsa dan bernegara, walaupun tidak begitu belum maksimal tidak berarti gugur kewajiban menerima yang sudah ada yang sudah dicapai menjadi suatu kegiatan positif yang berkelanjutan (tajdid). Disi lain prinsip diatas dari patut menjadi pedoman bagi pelaku kehidupan senantiasa menjalaninya dengan tetap mempertahankan dan merebut yang sudah ada, sekalipun belum maksimal, kemaksimalan itu akan menyusul, dimulai dari yang ada menjadi ada dibumi dan dilangit. 


Terus berbuat baik, mengambil perbuatan baik orang lain jauh lebih baik dan bermanfaat daripada mengambil sifat orang lain yang belum pasti dilihat secara ekplisit dan implisit oleh kita, perlu dicatat sebagai seorang muslim yang bersaudara (akhul muslimūn) harus terjadi apa yang dipesankan oleh Allah dalam firmannya yang sangat populer pada suart al-‘aṣr ; wa tawāṣau bi al-haq, wa tawāṣau bi al-ṣabr (nasehat menasihatilah dalam kebenaran, dan nasehat menasehatilah dalam sabar). Umat Islam diajarkan untuk saling menasehati, memberikan semacam wejangan mawiẓah ḥasanaḧ (pesan-pesan yang lembut) sebaliknya bukan memberikan nasehat yang keras (syiddaḧ) dikhawatirkan berpotensi lebih radikal jadinya kalau tidak dengan nasehat-nasehtat yang konstruktif


Posting Komentar

0 Komentar