Wajah Kaum Muda Religius Paluta di Zaman Millenal


        Tulisan ini muncul atas dasar diskusi-diksusi kegamaan millennial dikedai kopi bersama tokoh anak muda Paluta Abanganda Parluhutan Siregar, dimana tempat ngopi disitu ada diskusi fenomena-fenomea keagamaan baru di pada pandemik Covid-19, namun disatu sesi perbincangan hanya fokus pada salah satu term tentang wajah kaum muda Religius Paluta dizaman millenial ini, apa yang menarik dari perbincangan tersebut  yaitu sosok anak muda darah muda yang biasa menghabiskan waktu di masa remaja dengan koleganya berhura-hura menghabiskan waktu dengan tanpa tujuan yang jelas, bersyukur pemuda-pemuda yang berasal dari Kabupaten Padang Lawas Utara sebagain mampu memanfaatkan waktu  dengan  baik, mandiri, kolaboratif, konsekuen. 

        Karakter inilah lahir ikon pemuda yang tangguh siap kuliah kekota dengan modal sendiri, namun mempunyai kekuatan keyakinan yang yang sudah dikader sewaktu masih dikampung kekuatan batin didapat dari pendidikan orang tua yang terutama, yang kedua pendidikan disekolah pondok pesantren atas binaan dari guru, kyai, buya, yang sangat baik dan tulus memeberikan ilmu kepada santrinya. Itulah sebenarnya bekal yang sangat paling berharga disandang merantau, pintar pun kalau keyakinan tidak kuat seorang santri berat melangkahkan kaki untuk merantau, banyak pun harta tetapi keyakinan diri minim tidak bisa juga melangkah keperantauan. 

        Terlepas dari semua itu setiap pemuda-pemuda yang sudah sampai dikota memperlihatkan wajah keberagamaannya dan sikap, karakternya sehari-hari banyak anak muda asal Paluta (Padang Lawas Utara)  merupakan pemekaran kabupaten dari Tapanuli Selatan Sumatera Utara diresmikan pada tanggal 10 Agustus 2007 atas dasar hukum undang-udang Repbulik Indonesia Nomor 37 tahun 2007, jumlah penduduk 262.895 jiwa (berdasarkan data BPS Kabupaten Padang Lawas Utara tahun 2019)  para kaum muda biasanya tetap ingin melanjutkan pendidikannya karena tidak mau ilmu yang dituntut berhenti sampai disitu saja walaupun keadaan tidak mendukung, karena mayoritas dari pesantren perguruan tinggi Islam menjadi pilihannya yaitu UIN, UIR sebagai wadah bagi insān santri kelana, selama duduk dibangku kuliah inilah muncul model beragama terlihat dari setiap individu ajaran khas dari pesantrennya dibawa kekota bahkan dikampus sehingga sering terjadi perdebatan sengit antara yang satu dengan yang lainnya, yang paling banyak dibicarakan masalah agama, karena kultur pesantren yang teguh terhadap kitab kuning sebagai modal legitimasi menunjukkan dia seorang santri tulen.

        Santri yang sudah menjadi mahasiswa ini tentu beragam cara pandang dalam menata kehidupan dikota untuk melanjutkan kuliahnya, karena hampir mahasiswa yang asalnya santri mandiri, sungguh-sungguh, untuk melanjutkan hal tersebut sebagian diantara mereka masjid sebagai perahunya dalam sebuah pelayaran, sebutan bagi mereka adalah ghārim  kalau dipulau Jawa disebut marbot (penjaga masjid) dari masjid bisa sampai ketujuan yang diinginkan, dari masjid jiwa terbina dengan baik mental yang religius, bahkan sejarah mencatat banyak pemuda-pemuda yang sukses hari berasal dari didikan tempahan karakter masjid didaerah masing-masing, berkat tinggal ditempat ibadah tentu do’a-do’a akan mudah terkabul disebabkan pendekatan secara massif kepada Sang Khāliq, dengan jalan inilah banyak anak-anak muda khusūsan berasal dari Padang Lawas Utara sekitar tahun 2011 keatas (tahun ini dibatasi berhubung saat penlis melangkahkan kaki dari kampung pergi merantau), mendapatkan posisi yang baik saat merantau masjid menjadi tujuan agar bisa tinggal disana, dan mendapatkan bantuan kuliah secara cuma-cuma, dan pada realitanya perjuangan mereka bertepi kepada kesusksesan sampai selesai kuliah menyandang gelar sarjana, master, bahkan sampai Doktor contoh abanganda Dr. Sholehuddin Harahap, yang mempunyai sifat kelembutan yang prophetik, beliau sebagai ikon dari pemuda religius Paluta yang berhasil menembus gelar akademiknya kejenjang yang lebih tinggi, Parluhtuan Siregar, M. Hum seorang master dari UIN Suka Yogyakarta dengan modal nekat berani mengedepankan sikap hidup religius, modernis membuatnya sampai saat ini menikmati kesuksesan atas perjuangan selama mencicipi pendidikan di pesantren dan kampus, beliau bukan hanya menggeluti dunia akademisi tetapi dunia entrepreuner sejak dari pesantrean, hingga dimasa kuliah telah digelutinya  Karena menurutnya dunia bisnis, politik ekonomi yang mampu menguasai negara ini baginya persoalan keagamaan ini hanya dipandang dari dua sisi yaitu mana agama itu sebenarnya dan mana pemikiran agama tersebut. Al-Afghani Safaruddin Harahap, SH. Mantan dan pendiri Himapaluta Pekanbaru sebagai tokoh pergerakan anak-anak muda Paluta dimasanya membimbing para junior untuk cinta kepada daerah asal dengan membangun komunitas diperkotaan untuk melihat, potret arah baru jalan pemerintahan di Kabupaten Padang Lawas Utara Sumatera Utara. 

        Raja Inal Dalimunthe, SH adalah juga bagian dari ikon pengisi sejarah anak muda religius Paluta, yang dimulai dari titik nol arah perjuangan hingga sudah sampai kepada tujuan, 2016 ikut dalam peserta AKSI Indosiar dan menjadi peringkat tujuh yang membawa asal dari kota Pekanbaru, saat ini beliau telah berdakwah keberbagai daerah-daerah di Sumatera dan pulau Jawa, selain sebagai dakwah dunia hukum juga tidak terlepas dari bagian dari kegiatannya sebagai afiliasi dari ilmu yang digeluti selama menjadi mahasiswa di fakultas syariah dan hukum di UIN Suska Riau, nama-nama tokoh anak muda generasi millenial ini harum di perkotaan apalagi daerah kampung masing-masing menjadi kebangaan orang tua dan masyarakatnya siapa sangka anak desa menjadi sarjana ditengah kondisi ekonomi keluarga kadang tidak mendukung, dan tidak bersahabat. 

        Kereligiusan yang sudah mendarah daging membuat arah dan tujuan menjadi bulat  dan terang untuk sebuah mimpi keterbatasan tidak menjadi penghalang karena hubungannya secara vertikal sudah tertancap kuat sehingga mereka tidak mudah tergoda oleh riak-riak kecil yang membisikkan bahwa ditengah perkotaan tantangan hidup susah, semua serba rupiah, sehingga tidak jarang para kaum muda yang daya religiusnya rendah gulung tikar kembali kepangukan ibu pertiwi, tidak masalah sebenarnya kembali kepedesaan karena hidup itu pilihan boleh saja disana jalan hidupnya, banyak juga yang homeback mereka sukses disana karena telah membawa pengalaman hidup berpacu dikota sehingga sebagai kunci bagi mereka untuk hidup lebih maju dikampung. 

        Sangat menarik dari trik-trik yang mereka emban adalah atas dasar kereligiusan mengawali perjuangan mereka untuk sebuah kesuksesan, sehingga orientasi yang lain seperti mengejar rupiah lebih kencang, menjadi bagian dari belakangan dari perhelatan akbar mereka, kereligusan menjadi prioritas primer untuk mendobrak kebutuhan yang bersifat materi tadi kereligiusan menjadi alat, barometer untuk mengikuti tingginya persaingan didunia perkotaan, mereka yakin kalau sudah religius digenggam insyaAllah yang lain secara perlahan akan beradaptasi dengan kehidupan mereka. 

Adaptasi ini memang memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi tergantung rezeki dan nasib, nasab kita saja sebenarnya, volume terlalu tinggi untuk mengejar segalanya agama dinomorduakan,  kadang perintah-perintah agama kalah atas tuntuan duniawi, menciptakan problematika diberbagai lini kehidupan, sikap dan karakter tokoh muda religius ini harus menjadi virus bagi generasi baru (next generation) agar budaya religius dan intelektual cepat menyebar sehingga mampu membawa arah baru, model baru yang positif bagi junior dan signifikan kepada senior pemuda Paluta Pekanbaru, inilah pelajaran berharga yang mesti ditatap oleh wajah-wajah pemuda Paluta baik yang dikota maupun pedesaan untuk lebih menunjang masa depan yang cerah bukan malah masa depan yang suram (madesur). Apalagi dizaman millennial sekarang tawaran berbagai, dan style yang beragam untuk mempengaruhi generasi kadang bertentangan dengan adat, dan budaya katanlah seperti maraknya narkoba merusak budaya Paluta yang religius taat beragama mengedepankan sikap sopan santun ditengah orang tua tokoh masyarakat. Para senior, tokoh pemuda religius tidak cukup hanya membranding diri sendiri saja namun harus memberikan solusi-solusi alternatif kepada anak banga terkhusus tanah air kelahiran kita Padang Lawas Utara. 




Oleh: Mara Ongku Hsb, MH 
(founder dan penulis kemasyarakatan)



Posting Komentar

0 Komentar